Artikel dibawah ini sumber dari situs resminya sang Raja di
Amerika boleh punya King of
Rock ataupun King of Pop, tapi Indonesia
juga tidak kalah karena kita punya Raja Dangdut: Rhoma Irama, Sang
Satria Bergitar Legenda. Sedari kecil, Rhoma sudah menunjukkan
musikalitas yang luar biasa. Dia suka melantunkan lagu “No Other Love”
kesukaan ibunya. Bahkan konon sewaktu dia masih bersekolah di
Tasikmalaya, satu kelas menjadi kosong karena pindah ke kelas lain untuk
menyaksikan Rhoma beraksi menyanyi. Bakat musiknya sedikit banyak
merupakan warisan dari Ayahnya yang mahir bermain suling dan menyanyikan
lagu-lagu Cianjuran. Pamannya, Arifin Ganda, juga turut andil dalam
memupuknya dengan memperkenalkan lagu-lagu Jepang saat Rhoma masih
kecil.
Salah
satu prestasi musiknya yang cukup menonjol saat masih kecil adalah
ketika dia menarik perhatian seorang musisi senior pada jaman itu, Bing
Slamet, saat membawakan sebuah lagu barat pada pesta di sekolahnya.
Karena itulah, pada waktu Rhoma masih duduk di kelas 4 SD, Bing Slamet
membawanya untuk tampil pada sebuah pertunjukan di Gedung Serikat Buruh
Kereta Api (SBKA).
Sosok kharismatis yang akrab disapa sebagai
Bang Haji ini lahir pada 11 Desember 1946 di Tasikmalaya. Putra dari
pasangan Raden Burdah Anggawiya dan Tuti Juariah, dia adalah anak kedua
dari empat belas bersaudara.
Terlahir dengan nama Irama, pemberian sang
ayah yang kagum atas kelompok sandiwara Irama Baru yang pernah menghibur
pasukan pimpinan beliau, dia sering dipanggil Oma sedari kecil, dan
saat digabungkan dengan gelar Raden dan Haji yang dimilikinya, jadilah
nama panggungnya yang dikenal semua kalangan, R. H. Oma Irama, alias
Rhoma Irama.
Kecintaan sekaligus keprihatinannya pada
musik Orkes Melayu (akar dari musik dangdut) yang termarginalisasi oleh
gelombang musik Rock mendorong Rhoma Irama membentuk Soneta Group yang
beranggotakan delapan personel pada 11 Desember 1970. Soneta berambisi
untuk membuat revolusi musik di mana Orkes Melayu bisa berdiri sejajar
dengan jenis musik lainnya.
Bersama
Soneta Group, Rhoma sukses merombak citra musik dangdut (orkes melayu),
yang tadinya dianggap musik pinggiran menjadi musik yang layak bersaing
dengan jenis-jenis musik lainnya. Keseluruhan aspek pertunjukan orkes
melayu dirombaknya, mulai dari penggunaan instrumen akustik yang
digantinya dengan alat musik elektronik modern, pengeras suara TOA 100
Watt yang diganti dengan sound system stereo berkapasitas 100.000 Watt,
pencahayaan dengan petromaks atau lampu pompa digantinya dengan lighting
system dengan puluhan ribu Watt, begitu juga dengan koreografi serta
penampilan yang lebih enerjik dan dinamis di atas panggung.
Kesuksesannya bersama Soneta untuk merevolusi orkes melayu menjadi
dangdut itulah yang menyebabkan seorang sosiolog Jepang, Mr. Tanaka,
menyatakan Rhoma sebagai “Founder of Dangdut”.
Nama dangdut sendiri yang tadinya merupakan cemoohan atas musik orkes melayu berdasarkan suara gendangnya, justru diorbitkan Rhoma Irama pada tahun 1974 dengan menjadikannya sebagai sebuah lagu: Dangdut (yang kini lebih populer dengan nama Terajana). Rhoma juga semakin mengukuhkan predikat dangdut sebagai musik yang bisa diterima semua kalangan lewat lagunya “Viva Dangdut” yang dia ciptakan tahun 1990.
Nama dangdut sendiri yang tadinya merupakan cemoohan atas musik orkes melayu berdasarkan suara gendangnya, justru diorbitkan Rhoma Irama pada tahun 1974 dengan menjadikannya sebagai sebuah lagu: Dangdut (yang kini lebih populer dengan nama Terajana). Rhoma juga semakin mengukuhkan predikat dangdut sebagai musik yang bisa diterima semua kalangan lewat lagunya “Viva Dangdut” yang dia ciptakan tahun 1990.
Bersama Soneta Group, Rhoma mewakili musik dangdut dalam konser perdamaian di Istora Senayan,
berbagi panggung dengan Ahmad Albar dan God Bless sebagai representatif
musik rock. Konser tersebut berhasil mendamaikan perseteruan yang
selama itu terjadi antara kubu musik dangdut dan musik rock.
Duetnya dengan Elvy Sukaesih mengantarkan
keduanya kepada puncak popularitas. Lagu-lagu mereka seperti “Janda Atau
Perawan” dan “Penasaran” masih dikenal hingga saat ini. Bahkan, begitu
serasinya duet keduanya, membuat Rhoma mendapat gelar Raja Dangdut,
sementara Elvy yang menjadi Ratu Dangdutnya.
Rhoma
juga berhasil mewujudkan impiannya untuk berduet bersama penyanyi
idolanya sedari kecil, seorang Mahabintang dalam dunia musik India yang
telah menjual dua milyar rekaman, Latha Mangeshkar, dan tercantum
namanya di Guinness Book of Records.
Sukses mengangkat derajat musik dangdut,
Rhoma dan Soneta melanjutkan perjuangan memasuki bidang dakwah dan syiar
Islam. Dengan konsep Sound of Moslem, lirik-lirik lagu Soneta
senantiasa diisi pesan moral yang sarat nilai-nilai Islami. Rhoma
percaya bahwa musik bukanlah sekedar sarana untuk hura-hura belaka,
namun merupakan sebuah pertanggungjawaban kepada Tuhan dan manusia,
dengan kekuatan untuk mengubah karakter seseorang, bahkan karakter
sebuah bangsa.
Rhoma melakukan dakwah Islam tidak hanya
lewat musik, tapi juga lewat film-film layar lebar bernuansa musikal
yang dibintanginya. Salah satu filmnya yang berjudul “Nada Dan Dakwah”
(1991) dengan jelas menggambarkan nafas perjuangan Rhoma.
Lewat “Nada dan Dakwah”, Rhoma juga mendapatkan nominasi aktor pemeran utama terbaik untuk FFI 1992.
Pada tahun 1992 juga, Rhoma mendapatkan pengakuan dari dunia musik Amerika, saat majalah Entertainment edisi Februari tahun tersebut mencantumkannya sebagai “Indonesian Rocker”. Album berisikan lagu Rhoma mendapat ulasan sebagai alunan musik yang seolah datang dari planet lain, dan mendapatkan predikat A+ yang sangat istimewa.
Lewat “Nada dan Dakwah”, Rhoma juga mendapatkan nominasi aktor pemeran utama terbaik untuk FFI 1992.
Pada tahun 1992 juga, Rhoma mendapatkan pengakuan dari dunia musik Amerika, saat majalah Entertainment edisi Februari tahun tersebut mencantumkannya sebagai “Indonesian Rocker”. Album berisikan lagu Rhoma mendapat ulasan sebagai alunan musik yang seolah datang dari planet lain, dan mendapatkan predikat A+ yang sangat istimewa.
Terkadang
Rhoma berseberangan dengan pemerintah saat melakukan kritik sosial
untuk menggugat kebijakan yang dianggapnya kurang sesuai dengan kaidah
agama, seperti legalisasi Porkas dan SDSB. Lagu-lagu seperti “Pemilu”
dan “Hak Asasi” (1977), “Sumbangan” dan “Judi” (1980), serta “Indonesia”
(1982) sarat kritik dan sentilan, sehingga dia sempat diinterogasi
pihak militer di era Orde Baru, dan dicekal tampil di TVRI selama 11
tahun lamanya.
Rhoma juga pernah duduk sebagai wakil rakyat dalam DPR. Untuk membuat syiar dan dakwahnya lebih efektif, dia menggandeng partai-partai politik yang punya jalur, jangkauan, serta akses yang luas.
Rhoma juga pernah duduk sebagai wakil rakyat dalam DPR. Untuk membuat syiar dan dakwahnya lebih efektif, dia menggandeng partai-partai politik yang punya jalur, jangkauan, serta akses yang luas.
Rhoma
juga berpartisipasi aktif dalam menggunakan jalur politik untuk syiar
dan dakwah, dengan turut mengusulkan beberapa butir Rancangan
Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUUPP) ke DPR.
Rhoma tidak hanya mencurahkan perhatiannya
pada dakwah dan syiar, tapi dia juga peduli dengan nasib sesama musisi,
terutama mereka yang berkecimpung dalam dunia Dangdut. Dia mendirikan
PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Dangdut Indonesia) dan menjabat
sebagai Ketua Umumnya. Dia juga memimpin pendirian AHDCI (Asosiasi Hak
Cipta Musik Dangdut Indonesia) untuk memperjuangkan hak atas pembagian
royalti yang lebih baik untuk para pencipta musik Dangdut.
Kepedulian
Sang Raja Dangdut akan masalah dan bencana yang menimpa saudara-saudara
sebangsanya juga sangat tinggi. Rhoma bersama PAMMI aktif dalam
menggalang dana untuk membantu korban gempa dan tsunami di Aceh. Secara
pribadi, Rhoma menyumbangkan gitarnya untuk dilelang, dan laku terjual
seharga Rp 150 juta, yang kira-kira setara dengan beras 10 truk.
Kiprah dan dedikasi Sang Legenda juga diakui
dunia, terbukti dengan gelar Professor Honoris Causa dalam bidang musik
yang diterimanya dari dua universitas yang berbeda, yaitu dari Northern
California Global University dan dari American University of Hawaii,
keduanya dari Amerika.
Pada
16 November 2007, Rhoma menerima penghargaan sebagai ‘The South East
Asia Superstar Legend’ di Singapura. Mengakhiri tahun 2007 ini, Rhoma
akan menerima Lifetime Achievement Award pada penyelenggaran perdana
Anugrah Musik Indonesia (AMI) Dangdut Awards, yang akan dilangsungkan di
Theater Tanah Airku, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, pada 23
Desember 2007. Nama Rhoma sendiri akan diabadikan sebagai nama piala
untuk 6 kategori permainan instrumen musik Dangdut.Rhoma telah menciptakan lebih dari 500 lagu Dangdut, dan dia juga memperoleh predikat pencipta lagu Dangdut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar